Breaking News

Pages

About

Blogger news

Friday, 16 January 2015

STORY LIFE 1ST CHAPTER





Dunia SD ku

            Entah sampai kapan saya seperti ini? Dalam hati saya bertanya-tanya. Saat itu saya masih duduk di kelas dua SD. Saat itu saya merasa bahwa saya adalah manusia yang tidak beruntung. Saya lahir di Malaysia. Itu karena orang tuaku menikah di Malaysia. Saya memiliki adik laki-laki. Usianya beda setahun denganku. Ayah saya memutuskan kembali ke kampung halaman setelah berpisah dengan ibu saya. Hingga saat saya menulis cerita ini, saya pun tak pernah tahu seperti apa wajah ibu saya. Nama ibu saya pun tak pernah saya tahu. Saya merasa dunia ini benar-benar kejam. Melihat teman-teman di sekelilingku yang begitu asyik bermain bersama dengan orangtua mereka membuat saya semakin iri. Tuhan, apakah saya diciptakan hanya untuk merasakan penderitaan dan melihat orang-orang bahagia tanpa saya ikut bahagia?. Saat saya duduk di kelas dua SD ayah saya memutuskan kembali keperantauannya. Sejak kala itu saya tinggal bersama dengan tante saya, beliau adalah kakak tertua ayah saya. Beliau telah menganggap saya sebagai anaknya sendiri. Sehari-harinya, tante saya bekerja mengurusi kebun miliknya. Tante saya juga hidup tanpa suami. Suami beliau meninggal sekitar 10 tahun yang lalu. Tante saya membesarkan saya dengan kasih sayang dan segenap kemampuannya. Karena keterbatasan biaya, sehari-harinya saya ke sekolah menggunakan seragam pemberian dari tetangga. Tanpa sandal ataupun sepatu, saya melangkahkan kaki saya setiap paginya untuk menempuh perjalanan sekitar dua kilometer ke sekolah. Saya pun tak pernah memliki tas. Hingga dengan terpaksa saya menggunakan pembungkus sabun rinso saat itu sebagai pengganti tas dengan harapan buku-buku saya bisa tetap awet tidak terkena air hujan saat hujan turun. Dengan kreatifitas saya, saya membuat pembungkus sabun rinso tersebut menyerupai sebuah tas. Saya pun tak merasa malu memakainya. Saya tidak peduli orang mau berkata apa dengan kondisiku saat itu. Saya menggunakan tas dari pembungkus rinso tersebut hingga saya menamatkan sekolah saya di SD 349 Mampua. Saya hanya akan menggantinya jika kondisinya benar-benar rusak dan tidak layak pakai lagi. Lain lagi dengan uang jajan, saya tidak memiliki kebiasaan meminta uang kepada siapapun, termasuk kepada tante saya. Sehingga saat itu, saya menjual es lilin buatan tetangga saya. Dari hasil penjualan itu, saya diberi upah lima ratus rupiah perharinya. Terkadang saya hanya menghabiskan dua ratus rupiah saja di sekolah dan menyimpan sisanya untuk esok harinya. Setiap harinya saya berangkat ke sekolah bersama dengan adik saya. Ketika kami lelah di perjalanan, sewaktu-waktu kami main kejar-kejaran hingga kami tidak merasakan jauhnya perjalanan ke sekolah. Kadang pula kami bergantian saling menggendong ketika kami benar-benar lelah di perjalanan. Sejak kelas satu hingga kelas tiga, saya selalu mendapatkan peringkat dua di kelas. Sedangkan saat kelas empat hingga kelas enam peringkat saya menurun menjadi peringkat tiga. Tapi saya cukup merasa bangga, setidaknya saya tidak membuat malu diri saya sendiri dan tante saya. Ketika hari libur, saya bersama adik saya harus membantu tante saya merawat kebunnya. Tante saya memiliki kebun yang ia tanami jagung saat musimnya tiba. Pernah suatu ketika, kami sedang membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar pohon jagung dalam kondisi hujan deras, tiba-tiba sebuah petir menyambar kelapa yang berada tak jauh dari posisi kami. Saat itu kami benar-benar ketakutan. Saya yang takut akan kilat dan petir benar-benar menangis sekeras-kerasnya. Rasanya saya lebih baik mati bunuh diri daripada harus melihat petir. Adik saya pun ikut ketakutan namun ia mencoba menenangkan saya. Tante saya pun berusaha menenangkan saya. Bukan hanya petir, karena hujan yang tak kunjung berhenti, akhirnya sungai pun meluap dan kami tidak tahu bagaimana harus menyebrangi sungai tersebut. Menyebrangi sungai tersebut adalah jalan satu-satunya ke arah rumah kami. Kami benar-benar terisolasi saat itu. Adik saya pun mulai menangis karena ia mulai merasa lapar, bekal yang kami bawa telah habis. Giliran saya menenangkan adik saya dan mencoba membujuknya dengan segala kemampuan saya. Sekitar pukul 5 di sore hari, luapan air sungai tak kunjung surut. Hingga kami memutuskan untuk menunggunya beberapa jam lagi hingga air sungai sedikit surut. Sekitar jam 7 malam, kami pun memberanikan diri untuk menyebarangi sungai tersebut. Kami tiba di rumah sekitar jam 8 malam. Benar- benar perjalanan yang sangat melelahkan hari itu. 

No comments:

Post a Comment

Designed By