Dunia
SD ku
Entah
sampai kapan saya seperti ini? Dalam hati saya bertanya-tanya. Saat itu saya
masih duduk di kelas dua SD. Saat itu saya merasa bahwa saya adalah manusia
yang tidak beruntung. Saya lahir di Malaysia. Itu karena orang tuaku menikah di
Malaysia. Saya memiliki adik laki-laki. Usianya beda setahun denganku. Ayah
saya memutuskan kembali ke kampung halaman setelah berpisah dengan ibu saya.
Hingga saat saya menulis cerita ini, saya pun tak pernah tahu seperti apa wajah
ibu saya. Nama ibu saya pun tak pernah saya tahu. Saya merasa dunia ini
benar-benar kejam. Melihat teman-teman di sekelilingku yang begitu asyik
bermain bersama dengan orangtua mereka membuat saya semakin iri. Tuhan, apakah
saya diciptakan hanya untuk merasakan penderitaan dan melihat orang-orang
bahagia tanpa saya ikut bahagia?. Saat saya duduk di kelas dua SD ayah saya
memutuskan kembali keperantauannya. Sejak kala itu saya tinggal bersama dengan
tante saya, beliau adalah kakak tertua ayah saya. Beliau telah menganggap saya
sebagai anaknya sendiri. Sehari-harinya, tante saya bekerja mengurusi kebun
miliknya. Tante saya juga hidup tanpa suami. Suami beliau meninggal sekitar 10
tahun yang lalu. Tante saya membesarkan saya dengan kasih sayang dan segenap
kemampuannya. Karena keterbatasan biaya, sehari-harinya saya ke sekolah
menggunakan seragam pemberian dari tetangga. Tanpa sandal ataupun sepatu, saya
melangkahkan kaki saya setiap paginya untuk menempuh perjalanan sekitar dua
kilometer ke sekolah. Saya pun tak pernah memliki tas. Hingga dengan terpaksa
saya menggunakan pembungkus sabun rinso saat itu sebagai pengganti tas dengan
harapan buku-buku saya bisa tetap awet tidak terkena air hujan saat hujan
turun. Dengan kreatifitas saya, saya membuat pembungkus sabun rinso tersebut
menyerupai sebuah tas. Saya pun tak merasa malu memakainya. Saya tidak peduli
orang mau berkata apa dengan kondisiku saat itu. Saya menggunakan tas dari
pembungkus rinso tersebut hingga saya menamatkan sekolah saya di SD 349 Mampua.
Saya hanya akan menggantinya jika kondisinya benar-benar rusak dan tidak layak
pakai lagi. Lain lagi dengan uang jajan, saya tidak memiliki kebiasaan meminta
uang kepada siapapun, termasuk kepada tante saya. Sehingga saat itu, saya
menjual es lilin buatan tetangga saya. Dari hasil penjualan itu, saya diberi
upah lima ratus rupiah perharinya. Terkadang saya hanya menghabiskan dua ratus
rupiah saja di sekolah dan menyimpan sisanya untuk esok harinya. Setiap harinya
saya berangkat ke sekolah bersama dengan adik saya. Ketika kami lelah di
perjalanan, sewaktu-waktu kami main kejar-kejaran hingga kami tidak merasakan
jauhnya perjalanan ke sekolah. Kadang pula kami bergantian saling menggendong
ketika kami benar-benar lelah di perjalanan. Sejak kelas satu hingga kelas
tiga, saya selalu mendapatkan peringkat dua di kelas. Sedangkan saat kelas
empat hingga kelas enam peringkat saya menurun menjadi peringkat tiga. Tapi
saya cukup merasa bangga, setidaknya saya tidak membuat malu diri saya sendiri
dan tante saya. Ketika hari libur, saya bersama adik saya harus membantu tante
saya merawat kebunnya. Tante saya memiliki kebun yang ia tanami jagung saat
musimnya tiba. Pernah suatu ketika, kami sedang membersihkan rumput yang tumbuh
di sekitar pohon jagung dalam kondisi hujan deras, tiba-tiba sebuah petir
menyambar kelapa yang berada tak jauh dari posisi kami. Saat itu kami
benar-benar ketakutan. Saya yang takut akan kilat dan petir benar-benar
menangis sekeras-kerasnya. Rasanya saya lebih baik mati bunuh diri daripada
harus melihat petir. Adik saya pun ikut ketakutan namun ia mencoba menenangkan
saya. Tante saya pun berusaha menenangkan saya. Bukan hanya petir, karena hujan
yang tak kunjung berhenti, akhirnya sungai pun meluap dan kami tidak tahu
bagaimana harus menyebrangi sungai tersebut. Menyebrangi sungai tersebut adalah
jalan satu-satunya ke arah rumah kami. Kami benar-benar terisolasi saat itu.
Adik saya pun mulai menangis karena ia mulai merasa lapar, bekal yang kami bawa
telah habis. Giliran saya menenangkan adik saya dan mencoba membujuknya dengan
segala kemampuan saya. Sekitar pukul 5 di sore hari, luapan air sungai tak
kunjung surut. Hingga kami memutuskan untuk menunggunya beberapa jam lagi
hingga air sungai sedikit surut. Sekitar jam 7 malam, kami pun memberanikan
diri untuk menyebarangi sungai tersebut. Kami tiba di rumah sekitar jam 8
malam. Benar- benar perjalanan yang sangat melelahkan hari itu.
No comments:
Post a Comment